Jumat, 22 Juli 2011

pernikahan dan pengendalian sosial

hampir dua minggu, atau tepatnya 10 hari aku berada di sebuah kawasan di kaki merapi untuk mengumpulkan baseline penelitian masyarakat lingkar merapi dari perspektif antropologi. memang dalam jangka waktu 10 hari ini tugasku hanya berkutat pada angka, mulai dari urusan monografi, demografi dan sebagainya.terus terang penat sekali melakukan pekerjaan ini karena aku tidak biasa melakukan penelitian secara kuantitatif karena aku lebih tertarik dengan penelitian kualitatif. meskipun banyak dipusingkan dengan angka-angka aku mendapat banyak pengalaman menarik dari 10 hari itu.salah satunya adalah ketika si ibu yang aku tempatin bercerita tentang suaminya yang sekarang sedang main serong dengan menantu teman kerja suaminya (bingung??? masalah genealogi memang selalu membingungkan, makanya untuk kuliah kekerabatan aku ampe harus ngulang 2 x :D). katanya perempuan itu bisa menggaet suaminya karena perempuan itu punya semacam gendam atau pelet. tidak hanya suaminya tetapi orang lain di desa itu juga udah banyak yang menjadi korban perempuan itu, setiap laki-laki yang datang ke kios tempat jualan perempuan itu hanya dengan sekali tepuk laki-laki itu akan menuruti semua permintaannya, kebanyakan permintaan itu menyangkut masalah uang."jadi jangan tanya berapa uang suami saya yang dihabiskan untuk perempuan itu mbak", begitu kata si ibu. meskipun tahu kalau suaminya main serong dengan perempuan lain, si ibu tetap berusaha bersikap seperti tidak ada apa-apa.sebenarnya dia benar-benar marah, semarah-marahnya, tetapi dia tidak ingin hal ini akan mengganggu anak-anak dan keua orang tuanya yang tinggal satu atap dengannya. istilahnya dia tidak bisa hanya menuruti persaannya saja, tetapi dia juga harus berpikir logis. dia hanya berusaha bersikap sumarah, pasrah tetapi tidak menyerah. dia memang tidak bisa mengambil tindakan nyata seperti melakukan 'perang terbuka' dengan suaminya, tetapi dia menggunakan cara halus dengan meminjam 'tangan' sistem sosial yang dibangun di desa itu untuk mengembalikan suaminya ke pangkuannya. "aku gak bisa berbuat banyak mbak, aku tidak bisa marah dan berteriak kepada bapak karena aku ingat bagaimana kalau mbah dan anak-anakku dengar. aku percaya bapak masih punya malu, sebagai seorang perangkat dia pasti ngerti dampak masalah kayak gini. kalau toh memang bapak tidak bisa dipisahkan dari perempuan itu tidak apa-apa. aku merasa tidak rugi apa-apa dan aku tidak merasa kalah karena aku memang dari awal tidak berniat jualan atau bertarung". aku hanya bisa diam mendengarkan ibu bercerita. aku benar-benar tidak tahu harus memberi saran apa karena aku sendiri belum pernah merasakan hidup berumah tangga dan juga aku pikir ibu memng tidak perlu mendengar pendapatku karena yang dia butuhkan bukanlah saran tetapi hanya butuh orang yang mau dan 'aman' untuk menumpahkan uneg-unegnya. malam setelah ibu bercerita tentang masalah itu hanya berpikir lama, memang kehidupan pacaran (seperti yang sekarang aku jalani) brbeda jauh dengan kehidupan rumah tangga. waktu pacaran kalau tahu pasangan kita selingkuh kita bisa memaki di depan mukanya sesuka hati dan kata 'cukup sampai di sini hubungan kita' mudah sekali dilontarkan. tetapi ternyata hal-hal tersebut tidak semudah itu dilakukan ketika bsk kita berumah tangga. karena institusi pernikahan ternyata memang tidak milik pribadi kedua pasangan yang menjalaninya tetapi milik sosial. kenapa menjadi milik sosial??? karena menyatukan dua kepala itu sangat sulit dan rentan terjadi perselisihan, meskipun ada cinta dan hormon -belum lagi ada kepala-kepala lain yang ikut campur aduk menselisihkan kehidupan pasangan itu-, perselisihan ini diharapkan akan diminimalisir dengan adanya pengendalian sosial. untuk itu mengapa instisusi pernikahan disakralkan, karena dia adalah milik sosial.

Sabtu, 25 September 2010

apa pencapaianku??

sore ibuku tlp, nanyain kabar, skripsi and keadaanku. aku yg masih shock bangun tidur cm menjawab dengan jawaban2 standart.ibuku mengeluhkan keadaan dia yg bla bla bla...mulai dr masalah kantor, uang, rumah hingga masalah ayamnya yg nakal2. (ibuku suka memelihara ayam, sebagian besar halaman samping rumah untuk memelihara ayam). aku sambil mengembalikan kesadaran cm merespon "oke, iya, menyebalkan y pasti, ohhh...dsb". lalu ibuku berganti topik, anak temen dy yg katana agak2 jenius, d usia k 21 na diangkat menjadi salah satu dosen di universitas tinggi negeri di jawa timur. "padahal baru lulus s1 tp uda jd dosen d sana, hebat y?", teriak ibuku antusias. oke, hiperbola, bukan teriak tapi cerita. aku cm bisa mendengus, aku uda bisa merasakan ibuku sedang menuju alur membandingkan aku dg tmn anakna yg kena gejala jenius itu.
"emang bner jd dosen buk?? asisten kali, masak lulus s1 langsung jd dosen?? secara skr khn jd dosen hrs s2, d tempatku tuh dosen2 yg baru pada s2, ky mb vivi it s2 lulusan inggris, mb sita it s2 na 2 malah d NY ma d sini. ad gt univ negeri nerima dosen s1 doang???", akhirna tanpa sadar aku bicara panjang lebar, paling g byr alur pembicaraan "membandingkan" (baca: membandingkan aku ma anak itu) yg dibangun ma ibuku buyar.
tp........ jawaban ibuku "ya gpp lah klo cm jd asisten, toh udah kelihatn masa depan dy. drpd lulus luntang luntung lg an dy seumuran km tp dy uda lulus dl an", sip ibuku malah menemukan jalan by pass langsung ke arah pembicaraan "membandingkan", telak pada intina pula.
aku: "emang dy angkatan brp?"
ibu: "angkatan 2006, soalna masuk sd na umur 5 tahun"
aku: "ohhhhhhhhhhhhhhhhhhhh"
..........................
ibu: "emang apa pencapaianmu di umurmu skr?"
aku: "oh,aku yg skr g tlalu keras ma diri aku sendiri"
ibu: "oh......."
telpon mati

aku g tau sebenarna telpon it mati karena ibu mematikan tombol merah di hp na atau karena jaringan seluler yg jelek akhir2 ne.
tp okelah, aku harap kalimat terakhirku tidak menyakiti ibu, aku sayang dy tetapi kadang aku merasa dy membiasakan aku terlalu keras pd diri aku sendiri. dy ngajarin aku untuk harus melakukan "hal-hal yang baik untuk semua", baik untuk semua belum tentu baik untuk aku khn? bisa jg itu baik menurut dy tetapi tidak baik untuk semua. ampe akhirna d umur k 21 ku ini aku merasa aku harus melakukan "hal-hal baik yang ingin aku lakukan", karena pada permasalahanna ini semua tu aku yg ngejalanin jd semua harus berdasarkan apa yg aku mau selama itu g merugikan orang lain.
jd menurut aku cm memperdulikan apa yang dimau oleh orang lain, seperti yg aku lakukan kmrn2, tanpa memperdulikan atau berani menyatakan apa mau aku adalah salah satu bentuk perlakukan keras pada diri sendiri.
sekali lagi aku sayang ma km, ibu. tetapi aku pengen menyayangi km dg aku yg lebih dewasa & mengenali diri sendiri. oke???
luv u sooooooooooooooooooo much, mwach mwach!!

chit chat bareng temen

ne mungkin jg di alami klian yg baca tulisan ini.
saat qt kumpul bareng dan share apa pun, mulai dr hal yg bersifat umum hingga k masalah yg bersifat "gawat" (baca:masalah hati).
ada seorang teman aku yg bilang dy g bs jauh dr mantanna krn bla bla bla bla and something something something. pertama saat mrk memutuskan untuk jd tmn az, dy hrs bed rest ky org sakit typus,g mandi selama beberapa hari and berusaha nglupain tu co dg makan apa yg ada di kulkas ibunya. dkt2 nangis krn inget g ada lg co yg bs dy cium leherna skedar untuk meningkatkan hormon oksitosinna agar lebih nyaman saat stress, g ada lagi co yg membuatkanna kalung konyol dr biji2an & g ada yg lain2na.
tp bentar, klo dpikir2 emg ad y yg ky gt (cm) gr2 perubahan status dr pacar jd temen?
klo mo jujur jawabanna ada pd kalian sendiri, jg termasuk aku.
klo buat aku, saat menghadapi keadaan seperti ini bysana (di 3 kasus terakhirku) aku akan mengurung diri n nangis semalaman ampe mataku bengkak. bangun pagi2 & ngompres mataku dengan handuk dingin untuk mengurangi bengkakknya, abis itu pergi ke toko es krim & makan es krim sebanyak yg aku mau. abis it aku bs tertawa lg dan udah lupa tuh.......kcuali tb2 ada tlp ad sms dr dy, tanganku lgsg brubah dingin, memaki & aku tdk akan membalas atau mengangktna ampe aku "siap" (baca:bisa mengendalikan diri).
okelah,mybe dlm keadaan it qt sedang sakit, tp cb2 de qt pikir2 lg ngapain c qt lama2 bkubang dalam rasa sakit it? mengutip dr kata2 na Eleanor Roosevelt neh, tidak seorang pun bisa menyakiti qt tanpa sepertujuan dr qt. jd klo km ngrasa sakit it krn km yg mau disakiti. berlarut-larut dlm rasa sakit mungkin membuat qt menjadi orang paling sengsara di dunia ky qt d dalam lubang gelap di dalam tanah yg hanya bs melihat awan2 berjalan & org2 beraktivitas dan qt cm menjadi penonton, sementara qt berpikir, "hello...kalian emag g bs merasakan penderitaannku?????!!!!!!".
well, dg mengeluh seperti it g ckup sayang, km hrs bilang klo km ad di situ, nunjukin posisi km ada d mana. klo km cm diam menyesapi kesedihan sendiri it g bakal merubah apa2, malah km semakin terbelenggu ma rasa sakit itu.klo km bilang "hey aku sedang diposisi ini bla babla bla....." paling g orang disekitarmu akan menolongmu apa it mengulurkan akar kayu atauu bahkan menggilin ambulance dan pasukan pemadam kebakaran untuk menolongmu keluar dr lubang itu.
so bwt apa c berlama2 merasa sakit? (kecuali km sk dg rasa sakit it) km harus berani menghadapi semuana, g perlu takut dg semua yg km takutin. lakukan semua yg membuat km takut krn semua ketakutan yg qt bayangkan g semenakutkan it kok.

Jumat, 18 Juni 2010

aku dan kecoak


Aku di sana ..
Di pojok ruangan di ats goni kumal.
Kuletakkan pipi pada lututku yang lecet sambil mndngarkn hatiku berbisik:

"kau mau membusuk di sini kayak kecoak?"

kupejamkan mataku mengusir gelisah.

Aku diam ...
Gak ada yang perlu dijawab.
Gak ada jawaban untuk diriku sendri karena dia sudah tahu jawabannya tanpa aku menjawabnya.

Kecoa lewat di depanku.
Memamerkan bokongna yang merah.

Aku ingin membunuhna ...

Kamis, 17 Juni 2010

kepingan di petung kriyono


Jumat, 16 januari 2009

Malam ini aku bersama dengan empat puluhan orang mahasiswa antropologi berkumpul di plasa Fib untuk rapat koordinasi terakhir penelitian Petung. Di antara kami ada beberapa orang yang sudah beberapa kali pergi ke sana, tetapi ada pula yang sama sekali masih awam meskipun sudah beberapa kali membayangkan berdasarkan cerita maupun laporan. Aku sendiri masuk dalam golongan kedua, Petung bagiku adalah sebuah negeri khayalan yang terus menari-nari di kepalaku hampir satu minggu terakhir ini. Khayalan ini terus-menerus merongrongku untuk segara membuktikannya, dan malam ini aku di sini, menunggu dengan cemas bus yang akan membawaku ke patungkriyono.

Kecemasanku tidak kunjung selesai begitu bus tersebut datang. Di sepanjang perjalanan kecemasanku juga tidak kunjung hilang malah tambah menjadi-jadi. Tidur tak nyenyak hingga tubuh rasanya lemas.

Sabtu, 17 Januari 2009

Pagi sekitar jam 04.00 pagi kami sampai di Doro, sebuah kecamatan dengan pasar yang ramai. Begitu sampai aku langsung mencari kamar mandi dan kami mendapatkannya di sebuah masjid yang berjarak sekitar 100 meter dari terminal. Setelah itu aku bergabung dengan yang lain duduk di sebuah warung sambil menikmati teh hangat. Doplak (colt L300 yang digunakan sebagai alat transportasi ke Petungkriyono) yang akan mengantarkan kami ke Petung datang sekitar pukul 09.00, jadi kami harus menunggu lama. Sambil menunggu doplak kami kemudian duduk di trotoar pinggir terminal.

Di tengah kebosanan menunggu, akhirnya doplak kami datang. Doplak tersebut pada bak belakangnya dilengkapi palang-palang dari besi serta terpal plastic. Kami kemudian naik sesuai dengan kelompok yang telah dibagi. Sebelumnya kami melakukan rapat koordinasi setiap desa. Coordinator memberikan instruksi apa saja yang hendak dilakukan dan kebetulan koordinatorku adalah Mas Bajul, orang yang sama sekali belum aku kenal. Aku cuma beberapa kali melihatnya dan beberapa kali sms dalam rangka meminjam gitar listrik dari Mas Ibnu, dan menurutku dia agak sedikit seram.

Perjalanan yang kami lalui sangat menakjubkan. Kami seakan-akan membelah hutan dan menemui pola belokan yang hampir sama. Belokan dengan air gemericik di sisinya hingga wajah kami yang berada di atas doplak terciprat airnya. Jalan yang kami lalui penuh dengan lubang dan tanjakan yang menakutkan tetapi sopir doplak kami adalah sopir-sopir terbaik, mengemudikan mobil yang sarat muatan tersebut dengan wajah innocent seakan-akan jalan di depannya itu jalan aspal yang mulus dan lurus.

Siang ini, akhirnya aku dan rekanku lani sampai di Dranan. Sebuah dusun yang terletak di kaki bukit (paling tidak seperti itulah aku menganggapnya) dengan tanah rata sebagai konsentrasi huniannya. Perjalanan dari Mudal ke dusun ini kira-kira seperempat jam perjalanan dengan mengendarai doplak sewaan kami. Jalan dari mudal ke dusun ini sudah beraspal meskipun hanya selebar kira-kira 2-3meter. Sepanjang jalan berbelok-belok, menurun dan dihiasi dengan semak-semak penutup jurang di sebelah kiri.

Supir doplak menurunkan kami di sebuah pertigaan. Aku dan rekanku dengan menenteng tas berjalan mengikuti Mas Bajul ke rumah Pak Bau. Pak bau adalah sebutan bagi kepala dusun di sana (Aku sendiri tidak tahu kenapa dipanggil dengan sebutan Pak Bau, kenapa tidak disebut saja dengan Pak Kepala Dusun). Mas bajul yang bertugas “masrahke” di rumah bau ternyata juga tidak tahu dimana letak rumah pak bau. Berkat bantuan ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya, akhirnya kami tahu di mana rumah pak bau. Sebuah rumah dengan pintu bercat hijau di ujung pertigaan.

Orang yang pertama kali menyambut kami adalah seorang wanita berumur sekitar duapuluhan. Dia tampak kaget dan dengan tergopoh-gopoh Segera mempersilahkan kami untuk duduk di ruang tamu yang agak berantakan dan kotor, sepertinya rumah ini memiliki anak kecil karena terdapat mainan yang bercecer di lantai. Namun segera saja dia masuk ke dalam. Ruang tamu itu berlantai plester semen, dengan perabot kursi tamu dengan mebel yang modern di sebelah kanan pintu masuk dan mebel tradisional di sebelah kirinya. Selain itu ada sebuah lemari yang menyimpan televise dan vcd player beserta kasetnya. Bagian atas dari ruang itu berjelaga, dan itu memancing aku dan lani berspekulasi bahwa rumah itu dulunya pernah kebakaran.

Tidak berapa lama, muncul ibu setengah baya di ruangan tersebut. ibu tersebut juga tidak kalah kagetnya dengan wanita yang menyambut kami tadi. Namun setelah mas bajul menjelaskan apa tujuan kami sebenarnya ke rumah itu, ibu tersebut mulai mengerti. Ibu tersebut adalah bu bau, sedangkan pak bau waktu itu sedang pergi ke kelurahan di mudal untuk piket. Tak berapa lama kemudian mas bajul meninggalkan kami di rumah itu, karena dia masih harus mengantarkan yang lain ke dusun tujuan masing-masing. Setelah mas bajul pergi, bu bau masuk ke dalam rumah sedangkan kami menunggu di ruang tamu. Kami benar-benar lama menunggu, sampai-sampai aku berpikir jangan-jangan aku tidak diterima ditempat tersebut. sedangkan dari luar anak-anak melihat kami dengan sembunyi-sembunyi lewat kaca, tidak hanya anak-anak orang dewasa juga melakukan hal yang sama. Kami memang sudah merasa bahwa begitu kami turun dari doplak kami menjadi tontonan warga setempat. Namun ketika kami balas memandang mereka cepat-cepat memalingkan wajah dengan malu-malu. Aku merasa seperti makhluk aneh yang baru turun dari planet entah berantah yang patut ditonton dan diamati. Namun perasaan itu cepat terhapuskan ketika bu bau datang dengan membawakan teh hangat dan opak. Lani yang membawa oleh-oleh berupa sekotak bakpia dari jogja segera mengangsurkannya kepada bu bau. Saat itu pula kami memperkenalkan diri kepada bu bau, tetapi menurutku bu bau tidak akan mengingat namaku yang lumayan susah dilafalkan.

Kami mendapatkan sebuah kamar, walaupun tidak luas tetapi cukup bersih.kamar itu dilengkapi dengan sebuah tempat tidut dengan sprei yang baru diambil dari lemari dan berlapis dua, empat buah bantal, sebuah guling dan sebuah selimut tebal. Disamping tempat tidur ada sebuah lemari yang berisi baju dan gelas. Kamar itu (sepertinya) dihuni seorang laki-laki remaja. Hal ini bisa dilihat dari tas bergambar kenji si samurai x yang tergantung di kapstok dan sepasang sepatu bola di bawah tempat tidur.

Teh yang di sajikan kepada kami telah habis, segera aku bawa gelas kotor tersebut ke dapur. Di dapur ada seorang nenek-nenek sedang menumbuk sesuatu dengan lumpang. Kami berkenalan dengan nenek tersebut, nenek tersebut adalah ibu dari bu bau. Sedangkan wanita yang menyambut kami tadi adalah mbak tunut, menantu bu bau. Mbak tunut mempunyai anak kecil yang berumur sekitar enam tahun dengan nama luluk fadilah. Jadi tebakanku di awal tidak salah bahwa rumah itu memiliki anak kecil. Bu bau menawari kami untuk makan, tetapi kami tidak begitu lapar. Selain itu tawaran irma, keponakan jauh bu bau, untuk mengantar kami jalan-jalan melihat blumbang pak bau lebih menraik buat kami. (Blumbang adalah kolam tempat memelihara ikan).

Blumbang pak bau ada delapan petak. Ada dua petak dengan ukuran yang lebih besar daripada enam petak yang lain. Enam petak yang lain dindingnya ditembok serta ukurannya seperenam dari kolam yang besar. Kolam yang kecil kemungkinan digunakan untuk pembenihan serta untuk memelihara ikan-ikan yang belum dewasa. Dan ketika sudah dewasa ikan tersebut akan dipindah ke kolam yang lebih besar. Kolam tersebut terlihat tidak terurus, mereka sepertinya hanya mengandalkan air yang mengalir dari sungai untuk mengairi kolam tersebut. Sedangkan untuk pakannya, mereka hanya memberi rumput yang disebar begitu saja ke kolam. Selain itu, kotoran buang air besar mereka juga berfungsi sebagai makanan ikan karena mereka juga memanfaatkan kolam tersebut sebagai sarana untuk buang air besar.

Saat melihat-lihat blumbang kami bertemu dengan seorang laki-laki dan dua orang wanita yang sedang menggali pasir di aliran sungai. Laki-laki itu ternyata bapaknya luluk, mas nastain. Salah satu wanita yang sudah berumur setengah baya mengenalkan dirinya sebagai ibunya mbak tunut sedangkan wanita remaja yang satunya adalah adik perempuan mbak tunut. Ibu dan adik perempuan mbak tunut tinggal di kambangan. Meskipun mereka tinggal berjauhan akan tetapi mereka saling bantu membantu apabila ada suatu pekerjaan. Seperti yang sedang mereka lakukan sekarang, ibu dan adik mbak tunut membantu mas nastain menggali pasir di kali.

Setelah puas melihat-lihat blumbang dan penggalian pasir, lalu kami diajak oleh irma ke Camping Ground dan kebun stawberi. Ketika dalam perjalanan kesana kami bertamu dengan bu sul, su suyati dan de lawuk orang gila. Menurut irma, orang itu gila setelah jatuh dan kepalanya terluka. Bu sul tinggal di dekat lapangan sedangkan bu suyati tinggal di dekat TPA. Lama perjalan dari blumsang ke camping kira-kira dua puluh menit. Karena hujan turun dengan tiba-tiba, kita terpaksa bertaduh di pendopo camping. Kebun stawberi yang pertama kami tuju ternyata tutup. Dari balik tembok batu aku hanya melihat sebuah gubuk yang dilengkapi dengan kursi dan meja kayu serta tanaman stawberi yang tidak terawat. Benar-benar jauh dari bayanganku semula.

Camping ground adalah sebuah tempat wisata yang digunakan sebagai arena perkemahan. Fasilitas di tempat ini cukup lengkap, diantaranya kamar mandi dan pendopo bahkan dilengkapi dengan arena bermain seperti ayunan dan “papan naik turun”. Menurut irma, tempat ini dibangun belum begitu lama, sekitar tiga tahunan yang lalu. Namun kondisi fasilitas di tempat tersebut sangat memprihatinkan. Kamar mandi tidak terawat dengan baik, bahkan ada beberapa atap dan pintunya yang rusak. Rumput tumbuh setinggi lutut dan bersemak-semak. Tembok pendopo dipenuhi dengan tulisan nama, peristiwa bahkan gambar orang yang sedang mengadakan hubungan intim. Menurut irma, tempat itu sering digunakan sebagai tempat untuk berpacaran dan mereka menjadi tontonan para pencari rumput di sekitar tempat itu.

Hujan sudah berhenti dan kami pun berniat pulang. Tetapi tidak berapa lama datang mbak tunut yang tergopoh-gopoh membawa dua payung. Dia sangat kawatir kalau kami sampai kehujanan. Aku merasa agak aneh juga melihat perhatian mereka yang agak berlebihan terhadap kami. Sepanjang perjalanan pulang kami disapa banyak orang, terutama mbak tunut. Kira-kira seperti inilah sapaan mereka (tentu saja dengan menggunakan bahasa sehari-hari mereka):

“abis dari mana?”

“abis dari camping”

“wah, rekreasi ya nut”

“iya”

Begitu sampai di rumah kami disambut oleh pak bau. Seorang laki-laki dengan usai sekitar limapuluhan tahun. Beliau dengan ramah menerima kami, selain itu juga menerangkan kondisi rumah tersebut yang tidak mempunyai kamar mandi di dalam rumah dan yang ada cuma pancuran. Menurut pak bau keadaan rumah yang berdempet-dempet seperti ini sangat susah untuk membangun kamar mandi. Apabila kami ingin pipis kami bisa menggunakan pancuran di samping masjid, tempat orang mengambil wudhu. Dan kalau kami ingin buang air besar kami bisa minta antar mbak tunut. Namun sepertinya pak bau lupa menjelaskan satu hal kepada kami, apabila kami ingin mandi kami harus mandi dimana?.

Suasana yang dingin dan tubuh yang lelah memaksa kami tidur beberapa menit lamanya. Benar-benar surga bagi aku yang pemalas dan tukang tidur ini. Tapi aku sadar aku kesini bukan untuk tidur atau bermalas-malasan. Aku harus menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar dan mengumpulkan data. Dari sekian sub tema yang ditawarkan, kemungkinan besar tema yang aku angkat nantinya ada di sector pertanian karena pertanianlah yang menjadi matapencaharian pokok di dusun ini. Tetapi terus terang aku belum mantap dengan pilihan tersebut.

Pukul empat tepat aku bangun, kemudian aku langsung menuju dapur. Di dapur telah tersedia nasi, sayur tahu dan belut goreng. Kami langsung ditawari makan. Makan pada waktu tersebut mereka sebut dengan “sarapan”. Aku makan dengan lahap karena terus terang saja aku benar-benar lapar. Kami makan di meja kecil yang rendah dan duduk dengan menggunakan dingklik. Meja makan tersebut satu ruangan dengan tungku dan peralatan memasak lainnya. Di atas tungku tersebut ada sebuah tempat yang terbuat dari kayu yang sedemikian rupa di bentuk sehingga mampu menempel pada plafon atap dan dapat digunakan sebagai tempat menyimpan kayu bakar. Sedangkan di atas tempat menyimpan kayu tersebut, plafon yang yang terbuat dari lempengan kayu sengon (kata bua bau) digunakan sebagai tempat menyimpan jagung dari panen yang sudah-sudah. Kayu bakar sengaja ditempatkan di atas tungku agar cepat kering oleh asap panas tungku sehingga lebih gampang untuk digunakan ketika memasak. Sedangkan jagung sengaja ditaruh satu garis lurus di atas tungku untuk menghindari pembusukan sehingga jagung tetap utuh sampai enam bulan mendatang. Namun kendalanya apabila jagung ditaruh di tempat seperti itu, serangan tikus untuk mencuri jagung adalah masalah yang paling utama. Untuk menyiasati hal tersebut, bu bau memiliki kucing , yang merupakan musuh biologis tikus, sebanyak tiga ekor.

Setelah mencici piring, kami mengobrol dengan pak bau di depan tungku sambil menikmati segelas teh hangat. Menurut cerita pak bau, petungkriyono ini dulunya adalah sebuah tempat dengan medan yang sangat sulit sehingga untuk pergi kemana-mana harus ditempuh dengan jalan kaki. Untuk itu, ketika mas pujo dan teman-temannya datang ke petung untuk yang pertamakalinya pada tahun 1984, mereka harus berjalan sambil merambah hutan.

Menurut pak bau, pertanian di dusun ini sebagian besar menghasilkan padi, jagung dan singkong. Adapula yang memiliki kebun strawberry tetapi untuk sementara ini hanya satu orang saja yang baru mencobanya. Sedangkan usaha yang paling berpotensi di daerah ini menurut pak bau adalah memelihara sapi. Dari hasil memelihara sapi ini penduduk dusun ini bisa membangun rumah dan membeli sepeda motor.

Kemudian obrolan kami sampai pada mitos-mitos yang berkembang di tempat ini. Menurut cerita pak bau, masyarakat di tempat ini dan di daerah petungkriyonon lainnya mempunyai sesepuh yang sangat dihormati karena kesaktiannya dengan basic ilmu kejawen. Beliau dukenal dengan sebutan mbah Dramo. Salah satu kesaktiannya adalah mampu meneropong masa depan. Ketika petungkriyono masih berupa tempat yang sulit, baik itu dalam hal mencari sumber makanan dan transportasi, mbah darmo sangat masygul. Hingga kemudian dia meramalkan bahwa di masa akhir zaman petungkriyono akan terus meningkat kemakmurannya apabila di dalam negera ini partai yang tertinggal hanya tiga. Selain itu, beliau juga meramalkan bahwa di daerah ini cukup mudah untuk mencari sumber makanan tetapi sangat sulit digunakan sebagai sumber mencari uang. Sejak adanya ramalan tersebut, masyarakat setempat menggunakan hasil pertaniannya hanya sebagai bahan makanan sehari-hari, dan jarang sekali untuk di jual.

Pak bau bercerita bahwa dahulu untuk makan sehari-hari saja masyarakat setempat merasa sangat kesulitan. Karena padi dan jagung hanya panen sekali dalam setahun, dengan masa tanam selama sembilan bulan. Mereka sudah berusaha membawa bibit padi dan jagung unggul dari daerah lain, tetapi ketika ditanam di daerah ini gagal total. Ketika hasil panen tidak bisa mencukupi kebutuhan makaan mereka selama satu tahun, mereka menyambungnya dengan makanan yang terbuat dari pohon aren yang dibuat tepung kemudian dimasak dengan campuran daun selong yang dirajang (aku lupa nama makanannya dan aku membayangkan mungkin itu mirip dengan sagu).

Untuk saat ini kehidupan mereka sudah lebih baik, dalam satu tahun mereka sudah mampu panen padi sebanyak dua kali. Untuk satu kali panen, pak bau mampu mendapatkan padi sekitar sepuluh karung pusri. Begitu pula dengan panen jagung. Untuk tanaman kopi hanya diperoleh di semak-semak dan di hutan sekitar dusun itu saja, tidak menjadi komoditas tanaman utama. Hal ini menurut pak bau disebabkan oleh kondisi tanah yang tidak cocok sehingga jumlah biji uang dihasilkan setiap pohon tidak banyak.

Menurut pak bau, jumlah kepala keluarga di dusun ini sekitar tiga puluh kepala keluarga. Dan listrik pemerintah masuk di daerah ini sekitar tahun 1991-an. Sebelumnya mereka menggunakan kincir air yang di tempatkan di sungai-sungai di sekitar daerah tersebut. pemrakarsa pertamanya adalah mas pujo dan mas Thomas. Namun sayangnya, ketika di musim penghujan air di sungai seringkali meluap sehingga menerjang kincir air dan akhirnya rusak. Untuk mengalirkan listrik di daerah ini masyarakat sampai harus menyandera tiang listrik yang ada di mudal. Waktu itu, pemasangan instalasi listrik dilakukan dengan system kontrak oleh suatu cv. Ketika pemasangan itu baru sampai mudal, ternyata kontrak cv tersebut sudah hampir habis sehingga kemungkinan besar pemasangan tersebut tidak akan sampai di dranan. Karena terdorong oleh rasa ingin menikmati listrik pemerintah, akhirnya masyarakat setempat sepakat untuk menyandera tiang listrik yang masih ditumpuk di pinggir jalan. Akhirnya aksi mereka berhasil, kontraktor tersebut meluluskan permintaan mereka untuk memasang instalasi listrik sampai ke dranan. Untuk bisa menikmati listrik pemerintah, pak bau harus mengeluarkan uang sebanyak dua juta rupiah dengan daya 900 watt, karena stok di semarang untuk instalasi daya 400 watt sudah habis.

Bagi pak bau, kemakmuran yang diterima oleh masyarakat dranan saat ini disebabkan oleh kedekatan masyarakat dengan tuhan. Segala kesusahan yang diterima masyarakat dulu diakibatkan oleh acuhnya mereka terhadap tuhan, mereka tidak mau sembahyang dan mengaji seperti sekarang ini, sehingga tuhan tidak mau berwelas asih kepada mereka. Dan ketika mereka sudah dekat seperti sekarang ini, tuhan memberikan karunia dalam bentuk kemudahan dalam hal sandang dan pangan.

Setelah mengobrol dengan pak bau, aku mengobrol dengan mbak tunut. Mbak tunut bercerita bahwa dia dulu pernah bekerja di sebuah perusahaan bakery di Banten spesialisasi di bagian oven. Namun tidakbegitu lama dia pulang kembali ke petung dan menikah dengan mas nastain. Dari cerita mbak tunut aku tahu kalau keluarga ini juga menyimpan hasil panennya untuk dikonsumsi sendiri. Namun terkadang saat mereka membutuhkan uang mereka juga menjualnya. Saat ini menurut mbak tunut harga padi di pasaran sekitar enam ribu rupiah per kilo, sedangkan untuk jagung hanya seribu perkilo. Menurut mbak tunut untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, apabila orang itu punya uang lebih dan punya motor sendiri, lebih enak untuk langsung berbelanja ke pasar doro. Sebenarnya dulu di mudal ada pasar, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi karena sebagian besar masyarakat sekitar lebih memilih belanja dan menjual hasil bumi langsung ke doro.

Tidak berapa lama kemudian mas nastain ikut kami ngobrol. Mas nastain bercerita bahwa camping ground belum lama di bangun, kira-kira sekitar tahun 2005-an. Pada mulanya pihak perhutani menolak keras usaha masyarakat setempat untuk membuka lahan itu sebagai tempat wisata. Tetapi berkat adanya usaha dari mas pujo dan mas Thomas dalam memberikan pengertian kepada pihak perhutani, akhirnya permintaan itu diluluskan sehingga berdirilah camping ground dalam rangka salah satu usaha mengangkat perekonomian masyarakat dranan. Dan sampai sekarang pula pinus-pinus yang ditanam di sekitar camping adalah milik perhutani dan perhutani sangat ketat menjaga pohon-pohon yang di tanam di tanah miliknya.

Kemudian obrolan kami beralih pada kebun strawberry yang terdapat persis di depan camping. Menurut mas nastain kebun itu adalah milik pak daryono. Kebun tersebut berdiri berkat adanya kerjasama antara pak daryono dengan “orang bandung”. ketika baru pertama kali dibuka kebun tersebut sangat ramai akan pengunjung, terutama pada hari-hari libur. Tetapi sekarang pengunjungnya tidak begitu ramai karena saat ini adalah musim penghujan. Musim penghujan membuat bunga-bunga strawberry gugur sehingga jarang ada pohon yang berbuah.

Obrolan kami berhenti ketika luluk merengek untuk pindah ke ruang tamu untuk menonton “muslimah”. Akhirnya kami terpaksa ikut pindah ke ruang tamu. Di ruang tamu ada enam pemuda yang sedang menonton tv. Acara yang mereka tonton adalah sebuah kuis. Satu diantara pemuda tersebut adalah rohim, anak pak bau yang kedua. Aku duduk di belakang mereka, kemudian aku berkenalan dengan seorang pemuda yang duduk di dekatku. Pemuda itu bernama ahmad, keponakan pak bau. Logat bicaranya tidak terlalu ngapak. Pemuda-pemuda tersebut selian menonton tv tetapi juga sibuk memencet-mencet tombol hp yang ada di tangannya. Hp mereka sudah bagus-bagus, hp yang dilengkapi dengan fitur kamera dan mp3. tetapi merek dari hp tersebut masih termasuk jarang di pasaran, seperti merek2 BenQ dan D One.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, bu bau sudah menganjurkan kami untuk beristirahat di kamar. Dan kuakui aku memang capek dan ingin tidur. Akhirnya aku dan lani memutuskan untuk pergi ke kamar untuk mencatat di buku monyet lalu tidur, sedangkan di depan tv orang-orang masih ramai melihat sinetron.

Jumat, 23 Januari 2009

Pagi bangun, gosok gigi dan cuci muka, minum teh sambil menikmati pisang goreng di depan tungku. Kemudian aku dan Lani di depan jendela ruang tamu, di luar hujan masih rintik-rintik sisa-sisa tadi malam. Hujan yang terus-menerus ini membuat kami enggan untuk keluar sampai malam.

Malam itu kami pergi ketempat Pak Wasjuri, seorang pensiunan Mantri gili atau pegawai DPU. Ketika kami sampai sana ternyata beliau masih berada di masjid. Kami menunggu beberapa lama hingga kemudian beliau pulang. aku menyampaikan maaf atas keterlambatan kami kesana dan sepertinya beliau memakluminya meski ada pernyataan beliau yang berkesan heran karena biasanya mahasiswa Mas Pujo penelitian di dusun tersebut selalu ditempatkan di sana tetapi mengapa tahun ini tidak.

Beliau adalah seorang kakek yang lucu dan aku menanggap gaya-gaya beliau pada Mas Pujo. Beliau bercerita ketika dulu Mas Pujo dan rombongannya datang untuk pertama kali di daerah ini, mereka harus membuka hutan dan berjalan kaki selama seharian. Selain itu beliau juga bercerita bagaimana sengon uji coba yang dibawa anak-anak KKN tahun ini ternyata tidak tumbuh dengan bagus di daerah itu. Beliau juga bercerita tentang Baruklinting. Kata beliau dulu ada seseorang yang sakti di daerah ini dengan nama Panembahan Gedong. Dan Panembahan ini pada suatu hari mengadakan upacara tumpengan dan dari tumpeng itu kemudian berubah menjadi danau. Kemudian ada seorang suami istri yang baru menikah di daerah Doro. Menurut adapt setempat pengantin yang baru menikah tidak boleh jauh dari rumah, tetapi pengantin ini melanggarnya. Mereka sudah pergi ke sawah pada usia pernikahan baru seminggu. Pengantin laki-laki pergi ke sawah untuk menunggui padi, dan ketika tengah hari waktu makan siang ternyata istrinya agak terlambat datang mengirim makanan untukknya, dan untuk menyiasati perutnya yang sudah lapar kemudian laki-laki tersebut membakar telur yang ditemukannya tak jauh dari gubuknya. Baru ketika memakannya setengah istrinya datang membawa makan siang. Mereka pun makan bersama di gubuk. Kemudian si suami menawarkan sisa telur yang sudah dimakannya kepada istrinya dan istrinya pun memakannya. Ketika menjelang matahari terbenam, tubuh kedua suami istri tersebut merasa sangat panas dan tidak beberapa lama kemudian tubuh bagian bawah keduanya berubah menjadi tubuh ular dengan badan manusia. Karena malu mereka berdua kemudian pergi dari tempat itu. Mereka mencari tempat terpencil yang jarang didatangi manusia, tempat itu adalah danau dari tumpeng Panembahan Gedong tersebut. Mereka tinggal disitu sampai si istri hamil dan ketika mengidam si istri ingin makan manusia. Pada mulanya si suami tidak mengabulkan keinginan si istri, tetapi karena tidak tahan mendengar rengekan istrinya setiap hari kemudian si suami membawakan manusia pada istrinya. Hal ini terulang hingga enam kali dan kebetulan manusia yang di bawa suaminya itu adalah cantrik Panembahan Gedong. Begitu tahu apa yang terjadi dengan keenam cantriknya, Panembahan sanagt marah hingga kemudian menantang si suami. Si suami kemudian mati oleh tusukan senjata Penembahan yang terbuat dari pring petung hingga seluruh danau berwarna merah terkena darah si suami sedangkan istrinya berhasil melarikan diri. Danau tersebut kemudian oleh Panembahan Gedong diurug dengan sebuah bukit hingga danau tersebut tertutup. Tempat itu sekarang dipercaya di sebelah utara alas gedong. Alas gedong sendiri dipercaya sangat angker karena di alas tersebut terdapat makam Panembahan Gedong yang dijaga oleh juru kunci. Orang tidak bisa sembarangan apalagi merusak tanaman di tempat tersebut karena dipercaya orang tersebutakan meninggal tidak beberapa lama kemudian. Selain itu tempat itu juga tempat mencari kesaktian dengan laku yang harus dilakukan dengan bimbingan dari juru kunci.

Si istri kemudian dengan sedih pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Salah satu tempat yang disinggahi adalah dusun Garung karena di tempat itu si istri atau kemudian dijuluki dengan nama Baruklinting menangis menggerung-gerung (meraung-raung). Karena merasa takut dengan Panembahan Gedong kemudian Baruklinting pergi ketempat yang lebih tinggi hingga sampai ke sebuah telaga, kemudian dia tinggal di sana sampai dia melahirkan bahkan sampai saat ini. Telaga itu dikenal dengan telaga Mangunan, sebuah telaga yang dikenal mistis, tempat mencari kesaktian dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Sampai saat ini ada ritual-ritual yang dilakukan salah satu dengan membuang kepala kerbau sebagai persembahan kepada penunggu telaga tersebut, selain itu telaga tersebut mempunyai terowongan yang tembus hingga ke laut utara. Anak yang dilahirkan oleh Baruklinting tersebut kemudian terkenal dengan sebutan Den Bugel yang kemudian mendiami Curug Muncar, sebuah air terjun yang juga terkenal mistis. Masyarakat setempat percaya alas gedong dan telaga mangunan mempunyai kekuatan yang berlawanan. Seseorang yangsudah mencari kesaktian di gedong tidak bisa kemudian mencari kesaktian lagi di Telaga Mangunan.

Kemudian Pak Wasjuri melanjutkan cerita bahwa keangkeran alas gedong sempat hilang. Dulu pernah ada seorang kyai guru mengaji datang di tempat tersebut hingga kemudian kyai tersebut mampu mengobrak-abrik alas itu hingga setan penunggunya minta ampun padanya. Kyai tersebut mengusir setan-setan tersebut dari situ dan baru boleh kembali pada tahun 2000-an. Dan menurut Pak Wasjuri hal itu cocok dengan kejadian-kejadian di sekitar situ, bahwa pada awal 2000-an alas gedong kembali menjadi angker.

Malam sudah beranjak semakin larut, kami kemudian pamit pulang. Saat kami sampai di rumah Pak Bau, suasana rumah sudah sepi dan lampu ruang tamu sudah dimatikan tetapi pintu belum dikunci. Setelah mencuci kaki dan gosok gigi kami pun beranjak ke tempat tidur.