Jumat, 22 Juli 2011

pernikahan dan pengendalian sosial

hampir dua minggu, atau tepatnya 10 hari aku berada di sebuah kawasan di kaki merapi untuk mengumpulkan baseline penelitian masyarakat lingkar merapi dari perspektif antropologi. memang dalam jangka waktu 10 hari ini tugasku hanya berkutat pada angka, mulai dari urusan monografi, demografi dan sebagainya.terus terang penat sekali melakukan pekerjaan ini karena aku tidak biasa melakukan penelitian secara kuantitatif karena aku lebih tertarik dengan penelitian kualitatif. meskipun banyak dipusingkan dengan angka-angka aku mendapat banyak pengalaman menarik dari 10 hari itu.salah satunya adalah ketika si ibu yang aku tempatin bercerita tentang suaminya yang sekarang sedang main serong dengan menantu teman kerja suaminya (bingung??? masalah genealogi memang selalu membingungkan, makanya untuk kuliah kekerabatan aku ampe harus ngulang 2 x :D). katanya perempuan itu bisa menggaet suaminya karena perempuan itu punya semacam gendam atau pelet. tidak hanya suaminya tetapi orang lain di desa itu juga udah banyak yang menjadi korban perempuan itu, setiap laki-laki yang datang ke kios tempat jualan perempuan itu hanya dengan sekali tepuk laki-laki itu akan menuruti semua permintaannya, kebanyakan permintaan itu menyangkut masalah uang."jadi jangan tanya berapa uang suami saya yang dihabiskan untuk perempuan itu mbak", begitu kata si ibu. meskipun tahu kalau suaminya main serong dengan perempuan lain, si ibu tetap berusaha bersikap seperti tidak ada apa-apa.sebenarnya dia benar-benar marah, semarah-marahnya, tetapi dia tidak ingin hal ini akan mengganggu anak-anak dan keua orang tuanya yang tinggal satu atap dengannya. istilahnya dia tidak bisa hanya menuruti persaannya saja, tetapi dia juga harus berpikir logis. dia hanya berusaha bersikap sumarah, pasrah tetapi tidak menyerah. dia memang tidak bisa mengambil tindakan nyata seperti melakukan 'perang terbuka' dengan suaminya, tetapi dia menggunakan cara halus dengan meminjam 'tangan' sistem sosial yang dibangun di desa itu untuk mengembalikan suaminya ke pangkuannya. "aku gak bisa berbuat banyak mbak, aku tidak bisa marah dan berteriak kepada bapak karena aku ingat bagaimana kalau mbah dan anak-anakku dengar. aku percaya bapak masih punya malu, sebagai seorang perangkat dia pasti ngerti dampak masalah kayak gini. kalau toh memang bapak tidak bisa dipisahkan dari perempuan itu tidak apa-apa. aku merasa tidak rugi apa-apa dan aku tidak merasa kalah karena aku memang dari awal tidak berniat jualan atau bertarung". aku hanya bisa diam mendengarkan ibu bercerita. aku benar-benar tidak tahu harus memberi saran apa karena aku sendiri belum pernah merasakan hidup berumah tangga dan juga aku pikir ibu memng tidak perlu mendengar pendapatku karena yang dia butuhkan bukanlah saran tetapi hanya butuh orang yang mau dan 'aman' untuk menumpahkan uneg-unegnya. malam setelah ibu bercerita tentang masalah itu hanya berpikir lama, memang kehidupan pacaran (seperti yang sekarang aku jalani) brbeda jauh dengan kehidupan rumah tangga. waktu pacaran kalau tahu pasangan kita selingkuh kita bisa memaki di depan mukanya sesuka hati dan kata 'cukup sampai di sini hubungan kita' mudah sekali dilontarkan. tetapi ternyata hal-hal tersebut tidak semudah itu dilakukan ketika bsk kita berumah tangga. karena institusi pernikahan ternyata memang tidak milik pribadi kedua pasangan yang menjalaninya tetapi milik sosial. kenapa menjadi milik sosial??? karena menyatukan dua kepala itu sangat sulit dan rentan terjadi perselisihan, meskipun ada cinta dan hormon -belum lagi ada kepala-kepala lain yang ikut campur aduk menselisihkan kehidupan pasangan itu-, perselisihan ini diharapkan akan diminimalisir dengan adanya pengendalian sosial. untuk itu mengapa instisusi pernikahan disakralkan, karena dia adalah milik sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar